Sedari kecil sampai saat ini, Vian Dorus (12 tahun) yang lebih akrab dikenal dengan Yoga, tinggal bersama dengan kakek neneknya. Yoga bertumbuh tanpa figur ibu ataupun bapak, karena ibunya saat ini merantau ke Bali untuk bekerja. Kedua kakek nenek yang merawatnya ini menderita tuna rungu.

Selama ini Yoga dan keluarganya mencukupkan diri dengan memakan sayur-sayuran yang sengaja di tanam di kebun kecil samping rumahnya. Jika ada kebutuhan lain, maka Yoga dan saudara-saudaranya menerima bantuan dari tantenya yang tinggal berdekatan dengan mereka. Hidup Yoga juga memprihatinkan. Ia tidak tahu siapa ayahnya karena tidak pernah bertemu secara tatap muka. Ibunya hanya menyampaikan namanya saja.

Baca juga : KARENA TRAUMA, IA BERBOHONG

Di rumah, Yoga mengalami kesulitan berkomunikasi dengan kakek neneknya. Ia harus berteriak-teriak saat menyampaikan sesuatu agar bisa didengar kakek neneknya. Komunikasi serta keadaan keluarganya ini membentuk karakter Yoga. Ia menjadi anak yang pendiam, cuek, dan tidak mau mendengarkan nasihat.

Di sekolah Minggu, Yoga juga tidak mendengarkan saat guru sekolah Minggu menyampaikan firman Tuhan. Sampai suatu kali, Yoga belajar tentang Auman Singa – Kisah tentang Daniel melalui kurikulum Superbook di sekolah Minggu Gereja Bethel Indonesia Jemaat Tanaraing. Yoga merasa tertegur karena dirinya terlalu pendiam dan tidak mau mendengar nasihat. Ia mau seperti Daniel yang berani dan teguh pada kebenaran.

Baca juga : EJEKAN KARENA PERCAYA KRISTUS, TIDAK MENGGOYAHKAN IMANNYA

Sekolah Minggu berikutnya, Yoga berani bersaksi tentang perubahan dalam hidupnya terutama setelah belajar dari Kisah Daniel. Kak Kristina, guru sekolah Minggu Yoga pun akhirnya mendoakan dan meneguhkannya agar ia bertumbuh menjadi anak yang takut akan Tuhan dan percaya diri dalam segala hal. Beberapa minggu setelahnya, Yoga mulai aktif di sekolah Minggu dan terlihat ceria.

Contasia Christie

Content Writer